Jakarta – Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM sebagai Lembaga yang menghasilkan policy brief dan policy paper kembali mengadakan workshop siklus kebijakan bagi seluruh pegawai di lingkungan Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM dan kanwil Kemenkumham di seluruh Indonesia.

Dalam Workshop ini hadir sebagai narasumber Widhi Novianto, Kepala Pusat Kajian Kebijakan Administrasi Negara, Lembaga Administrasi Negara (LAN), dengan tema “Membingkai Masalah dan Penulisan Akademik dalam Analisis Kebijakan”.

Widhi mengatakan bahwa kualitas kebijakan Indonesia saat ini tidak pada kondisi baik, berdasarkan sumber dari Worlwide Governance Indicator, The World Bank, 2022 nilai Indeks Kualitas Kebijakan (IKK) dari tahun 1996 – 2021 masih dibawah 0, baru pada tahun 2020 dan 2021 nilai IKK Indonesia berada di atas 0. Sedangkan IKK berdasarkan hasil survei LAN kualitas kebijakan di Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah di Indonesia masih belum optimal.

Selain itu, kebijakan yang berbasis bukti juga masih kurang optimal diterapkan, hal tersebut dikarenakan karena beberapa faktor, seperti konflik antar peraturan, Inkosistensi peraturan yang dibuat beserta turunannya, multitafsir peraturan antara objek dan subjek yang diatur sehingga menimbulkan ketidakjelasakan rumusan bahasa, dan regulasi yang tidak memiliki daya guna.

Menurut Tony Blair, Perdana Menteri Inggris tahun 1997 – 2007, mengatakan bahwa kebijakan yang dibuat harus menyelesaikan masalah, untuk itu harus berdasarkan bukti, pada data, dan pada riset. Pada kenyataannya kebijakan saat ini masih berdasarkan intuisi pimpinan/Lembaga, pengalaman, opini publik dan kepentingan politik, hal tersebut tentu menghasilkan kebijakan yang masih belum tepat sasaran dan tepat guna.

“Kebijakan berbasis bukti sangat penting untuk menghindari kebijakan gagal dan implikasi yang tidak diinginkan,” ucap Widhi.

Penyebab Lemahnya Kontribusi Riset dalam pembuatan kebijakan di Indonesia disebabkan karena beberapa hal, yang pertama universitas belum mengembangkan tradisi riset, karir di dunia riset masih belum menjadi pilihan utama bagi Masyarakat, Anggaran biaya yang terbatas, Pembuat kebijakan belum melihat temuan sebagai pusat Pengambilan keputusan, minimnya keberadaan knowledge broker/intermediate, peran Balitbang Pemerintah kurang efektif. Padahal peneliti kebijakan merupakan jembatan bagi persoalan di lapangan dengan pengambil kebijakan, sayangnya saat ini pengambil kebijakan bahwa peneliti kebijakan tidak mengerti detil persoalan di lapangan serta gagal menangkap komplikasi realitas politik mikro serta hasil kajiannya masih terlalu akademis, normatif, dan abstrak. (*Humas)


Komentar (0)