Desain Penelitian Kewarganegaraan

 

(12/03) Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum menyelenggarakan presentasi Desain Penelitian berjudul Status Kewarganegaraan Anak Melampaui Batas Usia 21 Tahun. Acara dibuka oleh Kepala Puslitbang Hukum, RR Risma Indriyani. “Kami berharap mendapatkan masukan yang berharga untuk penelitian kami,” tutur Risma dalam pembukaan.

Menurut Risma, permasalahan status kewarganegaraan anak masih menjadi isu klasik yang perlu ditelaah secara serius. Permasalahan ini biasanya dialami oleh keluarga dengan perkawinan campur atau anak yang dilahirkan di luar negeri. Ketua tim peneliti, Nevey Ariani , menjelaskan dua masalah yang mungkin timbul menyangkut kewarganegaraan seseorang. Pertama, anak dengan kewarganegaraan ganda. Kedua, anak tanpa kewarganegaraan. Keduanya diwajibkan untuk memilih kewarganegaraan di rentang usia 18-21 tahun. Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki payung hukum untuk mengatur isu ini yaitu UU no 12 tahun 2006. Namun, selama dua belas tahun pelaksanaannya, banyak masyarakat yang mengeluhkan teknik pelaksanaannya. Selain itu pembaruan peraturan ini dirasa perlu karena belum pernah ada evaluasi menyeluruh terhadap UU ini.

Dalam studi pra-penelitian, Nevey menemukan beberapa isu seperti biaya yang mahal sampai batas usia yang dinilai terlalu dini. Salah satu undangan dari Organisasi Perkawinan Campur (Perca), Juliani W. Luthan, mengeluhkan soal batasan usia usia. “Bagi anak usia 21 tahun, memilih kewarganegaraan bukanlah sesuatu yang mudah. Mayoritas memilih kewarganegaraan asing dilandasi alasan pragmatis seperti pilihan pendidikan tinggi,” tutur Juliani.

Penelitian ini mendapat sambutan yang positif dari para pemangku kepentingan yang hadir seperti perwakilan Organisasi Perkawinan Campur, Ditjen Administrasi Hukum Umum, Ditjen Pendudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Ditjen Imigrasi, Kedutaan Besar China, Badan Intelijen Negara dan Kemenkumham Kantor Wilayah DKI Jakarta. Bintang Subekti dari Kantor Wilayah DKI Jakarta berharap penelitian ini dapat menunjang kebijakan pemerintah mengingat banyaknya masyarakat yang mengeluhkan implementasi peraturan kewarganegaraan. (Nes*)

*editor: Ernie Nurheyanti


Komentar (0)