Jakarta (20/09) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum (Puslitbangkum), mempresentasikan dua laporan akhir hasil kajian. Dua isu yang dibahas yaitu pengaturan dan implementasi pemberian rehabilitasi serta ganti rugi untuk korban salah tangkap. Acara ini dimoderatori oleh Kepala Puslitbangkum, Seprizal.

Kasus salah tangkap hingga penyiksaan oleh oknum kepolisian dalam tiga tahun terakhir cukup tinggi. Berdasarkan data yang dirilis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta jumlahnya mencapai 37 kasus yang dilaporkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh keadilan adalah dengan menuntut ganti rugi dan rehabilitasi. Sayangnya, mekanisme pemberian ganti rugi dan rehabilitasi masih menghadapi beberapa kendala. Peneliti Puslitbangkum, Mosgan Situmorang memaparkan paling tidak tujuh kendala dalam pemberian rehabilitasi dalam kedudukan atau jabatan yang sudah hilang. Salah satunya keengganan korban salah tangkap untuk kembali berurusan dengan hukum hingga memilih untuk tidak mengajukan permohonan rehabilitasi. Untuk isu ini, Mosgan berpendapat bahwa rehabilitasi harusnya bersifat otomatis. Sehingga, korban salah tangkap tidak perlu mengajukannya sendiri.

Di sisi lain, proses ganti rugi pun masih terkendala mekanisme pemberian yang kompleks dan panjang. Proses ganti rugi yang panjang perlu diatasi dengan penyederhanaan prosedur. Peneliti Puslitbangkum, Yulianto, merekomendasikan revisi peraturan tentang pedoman penggantian rugi yang masih mengacu pada Permenkeu Nomor 983/KMK.01/1983. Untuk masalah ini, Dr. Pujiyono, narasumber dari Universitas Diponegoro menambahkan, “seharusnya ganti rugi tidak hanya dihitung dari kerugian material tapi juga imaterial.”

Tidak hanya Pujiyono, peneliti Puslitbangkum juga mendapat masukan dari peserta yang hadir dari Polri, Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung, serta Ditjen Peraturan Perundang-undangan. (*Nes)

 

kunjungan lipi

 

kunjungan lipi


Komentar (0)